Minggu, 01 Mei 2011

Masyarakat Indonesia


palpasi post mortem

oleh Bagus Wildan H pada 01 Mei 2011 jam 2:10

Hanya Indonesia yang bisa bicara dalam banyak warna,

Satu atap dengan strata peradaban yang komplek.

Di ujung dunia lain, tidak ada hal yang senada dengan Indonesia.

Jika bukan pendatang yang terlihat lebih berperadaban, bisa juga pribumi yang mampu mengekspektasikan peradabannya.

Peradaban saya coba ambil dari sisi yang benar2 positif, yakni tingkat kemajuan manusia berdasarkan kemajuan ilmu baik dunia dan ruhani yang meliputinya. Artian dunia manusia lebih beradab terhadap cara2 yang lebih humanis, non natural behavior, kemauan untuk maju dalam bidang2 yang mempermudah kehidupan dan masyarakatnya lebih menonjol. Sedangkan ruhani, saya pandang dengan jiwa saya sangat spesial jika hal ini lebih mengarah kepada Agama yang benar (catatan: jika ada unsur tulisan yang menyudutkan Islam bahwa negara beragama Islam layaknya Timur Tengah lebih miskin, saya pribadi sangat tidak sepakat. Hal ini karena miskin tidak ada hubungan berbanding lurus dengan tingkat kemajuan peradaban)

Kembali ke Indonesia yang hanya mampu bicara dalam banyak warna. Warna disini adalah peradaban kebudayaan. Jika anda adalah penduduk Indonesia asli lihatlah telisik sejarah. Mana daerah Indonesia yang telah mengalami ekspektasi peradaan dan mana yang belum dalam sesi tahun atau abad yang sama. Banyak unsur yang menjadikan perbedaan semacam itu. Adanya sifat keterbukaan komunitas, strategis area baik untuk dagang maupun transit, pengenalan sistem kekuasan yang lebih baik, komunal atau soliternya antar komunitas di sebuah daerah, kemampuan mengeksplorasi dan aplikatifnya bahasa yang dimiliki. Dari pangkal nilai2 ini Indonesia berpotensi lebih besar menjadi keragaman peradaan yang besar.

Sekali lagi peradaban disini adalah budaya yang tidak diartikan sebagai standar manusia mampu membuat bangunan dan karya seni yang lebih maju. Dalam dua hal ini saya hanya bisa berpendapat bahwa itu semua adalah imbas dari sebuah peradaban. Karena jika diartikan dalam kedua hal itu akan tersa sangat sempit bagi artian sebuah peradaban yang telah menghantarkan manusia hingga sekarang.

Peradaban Indonesia yang komplek terdiri dari beragam bentuk masyarakat, primitif ada, komunal soliter ada, soliter sejati ada, komunal tertutup ada, komunal terbuka ada, aristokrasi ada, sukuisme ada, konservatif ada dan modern ada (Proletar dan borjius tidak masuk, karena ini bisa ada di semua bentuk masyarakat). Jika selama ini sebagaimana yang kita fahami, contohnya Afrika lebih berpedoman kepada yang awal, kaum Eropa lebih berpedoman kepada yang akhir akan sangat mudah melogikakan jika seuatu sitem coba diterapkan akan lebih lancar perjalanannya. Jika diibaratkan serat kabel, jika pakai tembaga ya segitu gitu saja hantarannya, tapi bagaimana jika pakai serat optik atau mungkin emas barangkali. Siapa tahu lebih kuat penghantaran ke objek penerimanya. Indonesia bukanlah Jawa (kulo tiyang Jowo/saya asli Jawa), Indonesia bukanlah hanya kota2 besar dimana yang selama ini kita ketahui, Indoensia bukanlah hanya tempat2 indah yang selam ini kita mimpikan di malam hari kita. Iya, semuanya itu ada namun alangkah sempitnya jika kita memandang Indonesia dengan kompleksitas manusia hanya dari sudut pasif (geografis) –nya saja.

Saya teringat tentang swastawan Nihon yang getol untuk membantu pemda di daerah NTT untuk tanam modal untuk membuat perkerbunan jarak. Jika kita berfikir, NTT sudah kita kenal lama dengan topografinya yang kurang menguntungkan, tapi berkat kelihaiannya si Nihon mampu melihatnya sebagai peluang yang menguntungkan. Ini saya tampilkan bukan sebagai gambaran ekonomisnya, tapi bagaimana sebuah daerah dengan kondisi manusianya yang berperadaban lebih rendah dibanding Jawa mampu ditangkap untuk diberdayakan lebih baik. Apa yang mampu menjadikan si Nihon ini lebih tertarik ke sana?

Kasus yang lain, tentang freeport. Kita tahu ini adalah perudahaan tambang maha besar yang dimiliki swasta asing di Indonesia. Si Investor saya yakin tahu dengan tepat bagaimana manusia di area investasinya, tapi ada sisi lain yang bisa ditangkapnya. Papua dengan keterbelakangan peradabannya mampu disulap freeport yang notabene orang asing menjadi sebuah the one light city on the highest land. Bagaimana bisa?

Kasus lainnya tentang malysian yang mampu berburu mendapatkan hak izin tanam hutan dengan areal tanam yang tak mungkin kita bayangkan di area area terpencil di Indonesia (nyata) dan banyak kasus2 lainnya.

Bukanlah kita menaruh pandang negatif di dalam tulisan ini, hanya karena mereka kaya dengan memanfaatkan kekayaan kita. Namun lebih ke arah bagaimana mereka mampu eksis dan mampu masuk ke ranah macam2 peradaban yang lebih rendah dari mereka. Harusnya kita belajar untuk itu. Tidak sempit hanya tentang sebuah ekonomi, namun bagaimana cara kita mampu melakukan pendekatan dan merubah pembawaan yang negatif terhadap satu dari ragam komunitas di masyarakat kita. Implementasinya???? Satu hal yang selalu saya tangkap dari orang berhasil, hanya karena mereka mau dan berani berkata untuk dirinya :’jika belum dicoba, pantang berucap tidak bisa, susah, sulit dan akar katanya’

Kemampuan manusia dalam peradaban lebih tinggi untuk mempengaruhi manusia lain dbawah peradabannya sangatlah tinggi. Potensi ini akan terkuak jika kita sadar dimana saya, kita dan mereka berada dalam tingkatan ini. Berlama dalam satu komunitas yang saklak(berangap tidak akan berubah atau berpindah atau bersentuh) dengan yang lain adalah satu kekurangan pada diri kita bangasa Indonesia saat ini. Fakta2 masyarakat telah banyak digunjingkan, fakta2 sosial baik individu, kolompok, komunitas, maupun bangsa telah banyak diperdengarkan. Anggapan jika dan jika kita mau untuk merakyat, mau arif dalam bermasyrakat, mau merubah budaya, mau berbenah diri hanyalah sebuah ungkapan palsu dimana kita mencoba meletakkan segalanya dengan ragam pendapat pribadi tanpa adanya perubahan.

Kemampuan manusia dalam sosialnya yang lebih mengena adalah bagaimana seorang individu mampu untuk memahami seperti apa masyarakat kita dan jika akan berbenah seperti apa cara kita berdekat yang lebih baik, tanpa mengurangi tingkatannya di sebuah peradaban. Artiannya menurunkan tingkatan ke tingkat pemahaman objek tidaklah serta merta kita terikut untuk melepas apa yang telah kita miliki.

Dalam kenyataannya, masyarakat kita masih suka dengan pembatas. Dari sudut pandang toleransi memang lebih baik, tapi dari sudut perbaikan ke arah keterbukaan butuh penguatan budaya positif dalam hal berfikir.

Tidak ada komentar: