Jelas!
Jelas! Urusan halal dan haram merupakan urusan yang sangat penting dalam agama Islam. Jangankan umat pemeluknya, manusia dan para Rasul saja diperintahkan untuk mengonsumsi yang halal dan thayyib saja.Allah berfirman, Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.(QS. 2:168) Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik (halal) yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah. (QS Al-Baqarah 172) Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik (halal), dan kerjakanlah amal yang saIeh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Al-Mu’minuun:51) Istilah halal dan haram lebih sering berkaitan dengan perkara mu'amalat (sandang, pangan, jual-beli, dan aktifitas lain yang bukan ibadah mahdhah). Dalam muamalat, semua yang halal jelas dan yang haram jelas. Rasulullah bersabda: "Inna al-halal bayyin wa inna al-haram bayyin" [Muttafaqun 'alaihi]. Antara yang halal dengan yang haram dalam Islam dijelaskan sejelas-jelasnya. Kejelasan itu dapat dilihat dari beberapa segi 1- segi hukum syariat.
Jelas! Urusan halal dan haram merupakan urusan yang sangat penting dalam agama Islam. Jangankan umat pemeluknya, manusia dan para Rasul saja diperintahkan untuk mengonsumsi yang halal dan thayyib saja.Allah berfirman, Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.(QS. 2:168) Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik (halal) yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah. (QS Al-Baqarah 172) Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik (halal), dan kerjakanlah amal yang saIeh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Al-Mu’minuun:51) Istilah halal dan haram lebih sering berkaitan dengan perkara mu'amalat (sandang, pangan, jual-beli, dan aktifitas lain yang bukan ibadah mahdhah). Dalam muamalat, semua yang halal jelas dan yang haram jelas. Rasulullah bersabda: "Inna al-halal bayyin wa inna al-haram bayyin" [Muttafaqun 'alaihi]. Antara yang halal dengan yang haram dalam Islam dijelaskan sejelas-jelasnya. Kejelasan itu dapat dilihat dari beberapa segi 1- segi hukum syariat.
Dalam ilmu fiqh, ada satu kaidah yang akan memudahkan kita untuk menentukan hukum suatu persoalan yang menyangkut muamalah. Yaitu, "Al-Ashlu fii al-asyyaa-i al-ibaahatu hattaa yadulla ad-daliilu 'alaa at-tahriim" (Pada asalnya segala sesuatu dalam muamalah adalah boleh sampai ditemukan dalil yang menunjukkan dengan tegas keharamannya). Imam As-Suyuthi setelah mengemukakan kaidah ini mengatakan: Haadzaa madzhabunaa, Inilah madzhab kami. Dan kita tahu bersama bahwa beliau adalah salah satu tokoh penting Syafi'iyyah, madzhabnya umat Islam se-Nusantara. Bahkan dinukil dalam Syarh al-Muhadzdzab karya Imam An-Nawawi, ittifaq mayoritas ulama madzhab lain terhadap benarnya makna kaidah ini.
Dalil kaidah ini banyak, tapi cukuplah disebutkan di sini sebuah hadits yang dicantumkan oleh Imam An-Nawawi di buku sakunya yang berjudul al-Arba'in an-Nawawiyyah. Haditsnya nomor 30, silakan dilihat. Dari Abu Tsa’labah Al Khusyani, Jurtsum bin Nasyir radhiallahu ‘anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, beliau telah bersabda : “ Sesungguhnya Allah ta’ala telah mewajibkan beberapa perkara, maka janganlah kamu meninggalkannya dan telah menetapkan beberapa batas, maka janganlah kamu melampauinya dan telah mengharamkan beberapa perkara maka janganlah kamu melanggarnya dan Dia telah mendiamkan beberapa perkara sebagai rahmat bagimu bukan karena lupa, maka janganlah kamu mencari-carinya”. (HR. Daraquthni, Hadits hasan)
Lantas bagaimana penerapan kaidah ini? Begini, kalau kita dihadapkan pada suatu perkara, umpamanya kita disuguhi tiga botol minuman. Botol pertama ternyata V*t, botol kedua berlabel Heinek*n, botol ketiga adalah Po*ari Sw*at. Botol pertama merupakan air putih, kita cari dulu apakah di Al-Qur'an dan hadits ada teks dalil yang menyatakan dengan tegas kehalalannya? Oh ternyata setelah membuka Al-Qur'an dan membaca sekitar 30-an kitab hadits, kita menemukan sejumlah dalil yang tegas menghalalkannya.
Di antaranya surat Al-Furqan ayat 48-49 dan hadits "Jika kalian berbuka puasa, maka berbukalah dengan kurma. Jika tidak ada maka berbukalah dengan air putih, karena ia suci dan mensucikan." [Diriwayatkan oleh Abu Dawud, At-Tirmidzi, dll]. Di sini jelas kita menemukan teks yang menyatakan kehalalan air putih. Maka hukumnya halal, dan silakan meminumnya. Jangan lupa ucapkan terima kasih kepada tuan rumah yang telah menyuguhkannya. Botol kedua isinya bir. Bir itu dalam bahasa arab biasa disebut khamr, alias minuman memabukkan.
Oke, kita buka kembali Al-Qur'an dan sekitar 30-an kitab hadits. Apakah ada dalil yang menegaskan keharamannya? Oh, ternyata ada banyak.
Di antaranya surat Al-Maidah ayat 90-91 dan hadits terkenal yang mirip silogisme, "Setiap minuman yang memabukkan adalah khamr. Dan setiap khamr adalah haram." [Diriwayatkan oleh Muslim, Ibnu Majah, dll].
Setelah jelas keharamannya berdasarkan dalil-dalil tersebut, maka tidak boleh lagi kita meminumnya. Ucapkan saja kepada tuan rumah yang menyuguhkan minuman ini, mohon maaf saya muslim, dalam agama saya tidak boleh meminum minuman seperti ini, tapi kalau kita bersabar, nanti di surga baru kita boleh minum khamr sepuas-puasnya.
Terus bagaimana dengan sebotol minuman isotonik? Seperti halnya metode di atas, kita kembali buka Al-Qur'an dan kitab-kitab hadits, apakah ada teks jelas yang benar-benar mengatakan kalau minuman isotonik itu halal diminum. Wah, ternyata tidak ada. Bagaimana ini? Apakah hukumnya halal ataukah haram?
Tidak usah bingung, kembali saja kepada kaidah di atas. Pada asalnya semua minuman itu halal, sampai ada teks Al-Qur'an atau hadits yang menjelaskan keharamannya. Berarti hukum minum minuman Isotonik halal-halal saja.
Dalil kaidah ini banyak, tapi cukuplah disebutkan di sini sebuah hadits yang dicantumkan oleh Imam An-Nawawi di buku sakunya yang berjudul al-Arba'in an-Nawawiyyah. Haditsnya nomor 30, silakan dilihat. Dari Abu Tsa’labah Al Khusyani, Jurtsum bin Nasyir radhiallahu ‘anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, beliau telah bersabda : “ Sesungguhnya Allah ta’ala telah mewajibkan beberapa perkara, maka janganlah kamu meninggalkannya dan telah menetapkan beberapa batas, maka janganlah kamu melampauinya dan telah mengharamkan beberapa perkara maka janganlah kamu melanggarnya dan Dia telah mendiamkan beberapa perkara sebagai rahmat bagimu bukan karena lupa, maka janganlah kamu mencari-carinya”. (HR. Daraquthni, Hadits hasan)
Lantas bagaimana penerapan kaidah ini? Begini, kalau kita dihadapkan pada suatu perkara, umpamanya kita disuguhi tiga botol minuman. Botol pertama ternyata V*t, botol kedua berlabel Heinek*n, botol ketiga adalah Po*ari Sw*at. Botol pertama merupakan air putih, kita cari dulu apakah di Al-Qur'an dan hadits ada teks dalil yang menyatakan dengan tegas kehalalannya? Oh ternyata setelah membuka Al-Qur'an dan membaca sekitar 30-an kitab hadits, kita menemukan sejumlah dalil yang tegas menghalalkannya.
Di antaranya surat Al-Furqan ayat 48-49 dan hadits "Jika kalian berbuka puasa, maka berbukalah dengan kurma. Jika tidak ada maka berbukalah dengan air putih, karena ia suci dan mensucikan." [Diriwayatkan oleh Abu Dawud, At-Tirmidzi, dll]. Di sini jelas kita menemukan teks yang menyatakan kehalalan air putih. Maka hukumnya halal, dan silakan meminumnya. Jangan lupa ucapkan terima kasih kepada tuan rumah yang telah menyuguhkannya. Botol kedua isinya bir. Bir itu dalam bahasa arab biasa disebut khamr, alias minuman memabukkan.
Oke, kita buka kembali Al-Qur'an dan sekitar 30-an kitab hadits. Apakah ada dalil yang menegaskan keharamannya? Oh, ternyata ada banyak.
Di antaranya surat Al-Maidah ayat 90-91 dan hadits terkenal yang mirip silogisme, "Setiap minuman yang memabukkan adalah khamr. Dan setiap khamr adalah haram." [Diriwayatkan oleh Muslim, Ibnu Majah, dll].
Setelah jelas keharamannya berdasarkan dalil-dalil tersebut, maka tidak boleh lagi kita meminumnya. Ucapkan saja kepada tuan rumah yang menyuguhkan minuman ini, mohon maaf saya muslim, dalam agama saya tidak boleh meminum minuman seperti ini, tapi kalau kita bersabar, nanti di surga baru kita boleh minum khamr sepuas-puasnya.
Terus bagaimana dengan sebotol minuman isotonik? Seperti halnya metode di atas, kita kembali buka Al-Qur'an dan kitab-kitab hadits, apakah ada teks jelas yang benar-benar mengatakan kalau minuman isotonik itu halal diminum. Wah, ternyata tidak ada. Bagaimana ini? Apakah hukumnya halal ataukah haram?
Tidak usah bingung, kembali saja kepada kaidah di atas. Pada asalnya semua minuman itu halal, sampai ada teks Al-Qur'an atau hadits yang menjelaskan keharamannya. Berarti hukum minum minuman Isotonik halal-halal saja.
Kurang lebih begitulah cara kita menentukan hukum suatu hal dalam lingkup muamalah. Misalnya, hukum mengonsumsi yogurt, puding, kerak telor, dst. Walaupun memang sebenarnya kalau dirinci ada beberapa tahapan yang dilalui oleh para pakar fikih, dan itu belum waktunya saya paparkan di sini. Tapi dengan memahami kaidah di atas, insyaAllah kita tidak akan terlalu bingung. Oh iya, setelah minum sebotol minuman isotonik tadi jangan lupa berterima kasih kepada tuan rumah yang sudah menyuguhkan minuman. Hmm, waktu saya dulu kelas XI SMA, saya pernah baca artikel di sebuah tabloid, ditulis di situ bahwa idealnya yang dicantumkan dalam kemasan sebuah produk itu bukan label "halal", tapi justru label "haram". Artinya kalau tidak ada label "haram" berarti halal dikonsumsi, persis seperti kaidah di atas. Benar juga sih, khan kalau kita belanja di pasar tradisional sayur-mayur dan ikannya tidak tercantum label "halal". Dan kalau disensus yang halal itu jauh lebih melimpah dibanding yang haram, maka yang sedikit itulah yang semestinya diberi tanda pengenal. Namun tentunya para alim ulama yang duduk di MUI punya pertimbangan lain.
Mereka yang duduk di komisi fatwa adalah para ulama yang sudah dalam keilmuannya. Maka bukan termasuk akhlak yang baik kalau saya yang tidak bisa apa-apa ini mengritik mereka. Biarlah ulama yang mengritik ulama. Adapun orang awam kewajiban mereka adalah menghormati mereka dan bertanya kepada mereka jika kita bingung menghadapi permasalahan agama. Allah berfirman sebanyak 2 kali dalam al-Qur'an: Fas-aluu ahladz-dzikri in kuntum laa ta'lamuun (Bertanyalah kepada orang yang mengetahui jika kalian tidak tahu).
Allah berfirman dalam Surat yang ke-5 ayat yang ke-100: Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan." Al-Khabits itu hal-hal haram, dan ath-thayyib itu hal-hal halal, begitulah yang dinyatakan oleh Imam Al-Baghawi dan mayoritas ahli tafsir. Dan memang demikianlah faktanya. Keharaman meski banyak yang melakukan, efek negatifnya nyata sekali, apalagi di hadapan mata mereka-mereka yang dikaruniai kejernihan fitrah dan kebeningan akal.
Kita ambil contoh simpel, berganti2 pasangan (maaf) dalam hubungan seks. Orang yang berpoligami meski berganti-ganti pasangan, tidak pernah kita dapati mereka terjangkiti penyakit HIV/AIDS karena poligaminya itu. Di Utah, salah satu negara bagian AS contohnya, ada 30 ribu pelaku poligami di sana dan mereka hidup sehat-sehat saja bahkan dikaruniai keluarga besar yang sejahtera. Nabi Yakub, Dawud, Sulaiman, dan sederet nama-nama Nabi lainnya dalam Perjanjian Lama pun disebutkan bahwa mereka berpoligami, dan mereka hidup mulia dunia dan akhirat. Adapun Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, sahabat sekalian bisa baca sendiri di banyak buku yang menceritakan kehidupan beliau (mis, Sirah Nabawiyyah atau Muhammad The Super Manager).
Nah, lain poligami, lain pula ML pra-nikah dan selingkuh. Saya rasa untuk hal ini sahabat-sahabat sekalian lebih paham dari saya. Maha Benar Allah yang telah menurunkan ayat Al-Maidah ayat 100 di atas. 3- segi psikologis. Dalam nomor ke-27 buku Arba'in Nawawiyah, ada dua hadits yang menjelaskan hal ini. Dari Nawwas bin Sam’an radhiallahuanhu, dari Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda : “Kebaikan adalah akhlak yang baik, dan dosa adalah apa yang terasa mengaggu jiwamu dan engkau tidak suka jika diketahui manusia “ (Riwayat Muslim)
Dan dari Wabishah bin Ma’bad radhiallahuanhu dia berkata : Saya mendatangi Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam, lalu beliau bersabda : Engkau datang untuk menanyakan kebaikan ?, saya menjwab : Ya. Beliau bersabda : Mintalah pendapat dari hatimu, kebaikan adalah apa yang jiwa dan hati tenang karenanya, dan dosa adalah apa yang terasa mengganggu jiwa dan menimbulkan keragu-raguan dalam dada, meskipun orang-orang memberi fatwa kepadamu dan mereka membenarkannya.(Hadits hasan kami riwayatkan dari dua musnad Imam Ahmad bin Hanbal dan Ad Darimi dengan sanad yang hasan)
Seorang siswa yang belum pernah menyontek sekalipun seumur hidupnya, kemudian ia tergoda untuk menyontek, saya yakin jantungnya berdegup luar biasa kencangnya. Baik sejak berniat, maupun setelah berhasil dapat contekan. Belum lagi rasa malu kalau ketahuan teman-teman, guru, apalagi orang tua. Seperti inilah fitrah yang masih suci! Ironisnya inilah yang hari ini kita ejek dengan "keluguan"! Padahal justru inilah fitrah suci yang Allah sebutkan dalam QS 30:30.
Ini semacam antivirus yang langsung memberi sinyal alert dan memberi kita pilihan ignore atau clean ketika kita melakukan dosa sekecil apapun. Inilah yang membuat jantung bergoncang beberapa 'richter' saat pertama kali hendak mencicipi beberapa gram marijuana. Ini pulalah yang membuat seorang aktivis dakwah merah padam wajahnya karena malu, ketika kepergok makan berdua di kantin dengan gadis yang bukan mahramnya. Ini pulalah yang merangsang kelenjar keringat mengucurkan beberapa mililiter keringat dingin di kening seorang pejabat waktu pertama kali menyunat dana BOS. Tapi bagaimana kalau ia setelah itu ia malas meng-update antivirusnya, atau bahkan mulai membiasakan diri melakukan keharaman?
Mereka yang duduk di komisi fatwa adalah para ulama yang sudah dalam keilmuannya. Maka bukan termasuk akhlak yang baik kalau saya yang tidak bisa apa-apa ini mengritik mereka. Biarlah ulama yang mengritik ulama. Adapun orang awam kewajiban mereka adalah menghormati mereka dan bertanya kepada mereka jika kita bingung menghadapi permasalahan agama. Allah berfirman sebanyak 2 kali dalam al-Qur'an: Fas-aluu ahladz-dzikri in kuntum laa ta'lamuun (Bertanyalah kepada orang yang mengetahui jika kalian tidak tahu).
Allah berfirman dalam Surat yang ke-5 ayat yang ke-100: Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan." Al-Khabits itu hal-hal haram, dan ath-thayyib itu hal-hal halal, begitulah yang dinyatakan oleh Imam Al-Baghawi dan mayoritas ahli tafsir. Dan memang demikianlah faktanya. Keharaman meski banyak yang melakukan, efek negatifnya nyata sekali, apalagi di hadapan mata mereka-mereka yang dikaruniai kejernihan fitrah dan kebeningan akal.
Kita ambil contoh simpel, berganti2 pasangan (maaf) dalam hubungan seks. Orang yang berpoligami meski berganti-ganti pasangan, tidak pernah kita dapati mereka terjangkiti penyakit HIV/AIDS karena poligaminya itu. Di Utah, salah satu negara bagian AS contohnya, ada 30 ribu pelaku poligami di sana dan mereka hidup sehat-sehat saja bahkan dikaruniai keluarga besar yang sejahtera. Nabi Yakub, Dawud, Sulaiman, dan sederet nama-nama Nabi lainnya dalam Perjanjian Lama pun disebutkan bahwa mereka berpoligami, dan mereka hidup mulia dunia dan akhirat. Adapun Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, sahabat sekalian bisa baca sendiri di banyak buku yang menceritakan kehidupan beliau (mis, Sirah Nabawiyyah atau Muhammad The Super Manager).
Nah, lain poligami, lain pula ML pra-nikah dan selingkuh. Saya rasa untuk hal ini sahabat-sahabat sekalian lebih paham dari saya. Maha Benar Allah yang telah menurunkan ayat Al-Maidah ayat 100 di atas. 3- segi psikologis. Dalam nomor ke-27 buku Arba'in Nawawiyah, ada dua hadits yang menjelaskan hal ini. Dari Nawwas bin Sam’an radhiallahuanhu, dari Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda : “Kebaikan adalah akhlak yang baik, dan dosa adalah apa yang terasa mengaggu jiwamu dan engkau tidak suka jika diketahui manusia “ (Riwayat Muslim)
Dan dari Wabishah bin Ma’bad radhiallahuanhu dia berkata : Saya mendatangi Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam, lalu beliau bersabda : Engkau datang untuk menanyakan kebaikan ?, saya menjwab : Ya. Beliau bersabda : Mintalah pendapat dari hatimu, kebaikan adalah apa yang jiwa dan hati tenang karenanya, dan dosa adalah apa yang terasa mengganggu jiwa dan menimbulkan keragu-raguan dalam dada, meskipun orang-orang memberi fatwa kepadamu dan mereka membenarkannya.(Hadits hasan kami riwayatkan dari dua musnad Imam Ahmad bin Hanbal dan Ad Darimi dengan sanad yang hasan)
Seorang siswa yang belum pernah menyontek sekalipun seumur hidupnya, kemudian ia tergoda untuk menyontek, saya yakin jantungnya berdegup luar biasa kencangnya. Baik sejak berniat, maupun setelah berhasil dapat contekan. Belum lagi rasa malu kalau ketahuan teman-teman, guru, apalagi orang tua. Seperti inilah fitrah yang masih suci! Ironisnya inilah yang hari ini kita ejek dengan "keluguan"! Padahal justru inilah fitrah suci yang Allah sebutkan dalam QS 30:30.
Ini semacam antivirus yang langsung memberi sinyal alert dan memberi kita pilihan ignore atau clean ketika kita melakukan dosa sekecil apapun. Inilah yang membuat jantung bergoncang beberapa 'richter' saat pertama kali hendak mencicipi beberapa gram marijuana. Ini pulalah yang membuat seorang aktivis dakwah merah padam wajahnya karena malu, ketika kepergok makan berdua di kantin dengan gadis yang bukan mahramnya. Ini pulalah yang merangsang kelenjar keringat mengucurkan beberapa mililiter keringat dingin di kening seorang pejabat waktu pertama kali menyunat dana BOS. Tapi bagaimana kalau ia setelah itu ia malas meng-update antivirusnya, atau bahkan mulai membiasakan diri melakukan keharaman?
Hadits berikut menjelaskan apa yang akan terjadi, "Fitnah-fitnah akan mendatangi hati bagaikan anyaman tikar yang tersusun seutas demi seutas. Maka hati mana saja yang menyerapnya akan ditorehkan padanya satu titik hitam. Dan hati mana saja yang mengingkarinya akan ditorehkan padanya satu titik putih hingga menjadilah keadaan dua jenis hati tadi. Hati yang sangat putih bagaikan batu putih yang sangat licin tidak akan ada satu fitnahpun yang akan memudhorotkannya selama langit dan bumi masih ada. Sedangkan hati yang lain adalah hati yang hitam dan kotor bagaikan gelas yang terbalik. Hati yang tidak mengetahui perkara yang ma'ruf dan tidak pula mengingkari perkara yang mungkar kecuali yang mencocoki hawa nafsunya." [HR. Muslim]
Allah juga berfirman di surat Ash-Shaff, falammaa zaaghuu azaaghallahu quluubahum. (Tatkala mereka berpaling, Allah palingkan pula hati-hati mereka). Itulah yang terjadi pada diri siswa tadi. Ia pun akhirnya terbiasa menyontek via lirikan mata, lalu ia merasa bahwa itu sudah membosankan dan hasilnya masih belum mantap. Maka ia pun melangkah ke jenjang selanjutnya, menyontek via bisikan-bisikan, kemudian via robekan kertas yang disebar di kelas dengan media rautan pensil yang besar, lalu meningkat hingga membagi-bagi jawaban via HP, lalu mulai berani membocorkan jawaban soal sebelum soal ujian dibagikan (ajaib, ya?), lalu terjadilah apa yang terjadi (yang sebenarnya tidak terlalu mengejutkan), yaitu pencontekan (sontekan) massal.
Sahabatku tercinta, begitu pulalah yang terjadi pada diri seorang pecandu NAPZA, begitu pulalah perzinaan, begitu pulalah korupsi, dan begitu pulalah proses dosa-dosa kita yang lain. Semua diawali dengan hal-hal kecil, sebagaimana kobaran si jago merah yang menghanguskan ratusan kios di sebuah kawasan bisnis awalnya hanyalah sebuah percikan listrik. Allah berfirman: ” Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.(QS. 2:168) Allah menyatakan di ayat tadi dengan kata "khuthuwaat", "langkah-langkah".
Setan dan bala tentara sejatinya bekerja dengan tahapan-tahapan yang dirancang sedemikian rupa dengan perhitungan yang matang. Setan tidaklah mengajak orang shalih langsung berbuat dosa besar, tapi ia menggiringnya step by step melalui dosa-dosa kecil hingga akhirnya ia pun dengan legowo melakukan dosa besar. Makanya jangan heran kalau perkara-perkara halal dan haram yang sudah jelas dalam agam Islam ini lama-kelamaan semakin tipis perbedaannya di benak mayoritas kita akibat kesucian fitrah kita yang kian terabrasi oleh apa yang disebut dengan arus 'modernisasi'.
Tapi kita mesti yakini dan harapkan masih ada di dalam hati saudara-saudara kita yang sudah terjerumus dalam dosa-dosa besar perasaan bersalah dan keinginan untuk bertaubat. Bukankah Allah Maha Penyayang kepada hamba-hambaNya sehingga ia sisipkan di hatinya rasa ingin bertaubat? Tinggallah ia memilih, akan menyambutnya atau mengabaikannya. Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang dijauhkan dari menikmati keharaman dan diberi kesempatan bertaubat sebelum ajal menjemput.***
Oleh: Nur Fajri Romadhon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar